SheFounder Lifestyle 000008

Mindset “Orang Kaya Tak Perlu Jualan” dan Dampaknya terhadap Ekonomi Digital Indonesia

Screenshot 2025 08 13 at 22.06.56

SS di atas adalah balasan terhadap komentar saya di salah satu utas orang di Threads.

Tersinggung? Enggak tapi malah berasa lucu 😁 ngakak dulu.

Di komentar saya itu, banyak banget yang memberikan balasan juga. Dan semuanya saya balas balik dengan “terima kasih” dan sama sekali tidak ada satu nada tulisan pun yang mencoba mengarahkan mereka untuk join course atau mentoring.

Dan, si bebek bakar anonim ini sepertinya dulu mungkin pernah beli kursus online saya atau webinar saya tapi mungkin gak pecah telor juga. Makanya, dia bersikap defensif dan judgmental seperti itu.

Kasihan aja sih, karena komen dia itu OOT banget alias gak nyambung.

Saya masih punya adab dan sopan kok, gak bakalan promosi di lapak orang karena itu memang tidak etis.

Nah, artikel ini tercipta, salah satu alasannya ya karena si bebek panggang anonim ini. Baca sampai selesai ya 😃

“Kok dia udah sukses masih jualan course? Serakah banget sih!”

Atau malah sebaliknya….”Lhooo katanya freelancer sukses, kok malah jualan kursus. Lagi nganggur yaaa?”

Atau…”Logikanya, freelancer yang jobnya banyak itu gak bakalan ada waktu untuk membuat kursus. Saya aja gak sempat kok bikin kelas..” 😌 Beliau mungkin tidak paham tentang time management…

Komentar seperti ini mungkin familiar di telinga kita. Di Indonesia, ada fenomena menarik: stigma sosial terhadap orang sukses yang masih melakukan aktivitas komersial. Berbeda dengan negara lain, di mana monetisasi expertise dianggap hal wajar, Indonesia memiliki resistensi budaya yang unik terhadap praktik ini.

Pertanyaannya: dari mana asal mindset ini, dan bagaimana dampaknya terhadap perkembangan ekonomi digital Indonesia?

Jejak Budaya dalam Mindset Anti-Komersial

Gotong Royong: Nilai Luhur yang Disalahpahami?

Indonesia memiliki warisan budaya gotong royong yang sangat kuat. Tradisi saling membantu tanpa pamrih telah mengakar dalam masyarakat selama berabad-abad. Namun, dalam konteks ekonomi modern, konsep ini seringkali mengalami misinterpretasi.

Membantu tetangga membangun rumah secara sukarela berbeda konteksnya dengan berbagi expertise profesional yang telah dibangun melalui investasi waktu, pendidikan, dan pengalaman bertahun-tahun. Namun, batas antara keduanya seringkali kabur dalam persepsi masyarakat.

Trauma Historis dengan Kekayaan

Selama era Orde Baru, bisnis besar seringkali identik dengan praktik korupsi dan nepotisme. Hal ini menciptakan trauma kolektif dan kecurigaan sosial terhadap orang kaya yang masih aktif mencari keuntungan ekonomi.

Persepsi ini diperkuat oleh kesenjangan ekonomi yang ekstrem di Indonesia. Display of wealth, termasuk aktivitas komersial dari orang yang sudah mapan, seringkali dipandang sebagai insensitivitas sosial.

Kontras dengan Mindset Global

SheFounder Lifestyle 000032

Di negara-negara maju, monetisasi expertise justru dianggap sebagai bagian normal dari value-based economy. Beberapa contoh:

  • Gary Vaynerchuk: Entrepreneur dengan net worth puluhan juta dollar yang masih aktif menjual course dan speaking engagement
  • Tony Robbins: Motivator dengan kekayaan miliaran rupiah yang konsisten mengadakan seminar berbayar
  • Seth Godin: Marketing guru yang terus menerbitkan buku dan course premium

Mereka tidak dipandang sebagai “serakah”, tetapi justru dihormati karena terus menciptakan value dan berkontribusi pada knowledge economy.

Filosofi Value Creation

Di Barat, terdapat pemahaman bahwa:

  • Expertise adalah properti intelektual yang legitimate untuk dimonetisasi
  • Melalui produk berbayar, seorang ahli dapat membantu lebih banyak orang secara sistematis dan berkelanjutan
  • Hasil dari knowledge products memungkinkan keberlangsungan riset dan pengembangan

Dampak terhadap Ekosistem Digital Indonesia

Stagnasi dalam Creator Economy

Mindset anti-komersial ini menciptakan beberapa dampak negatif:

Brain Drain Konten Edukatif: Expert Indonesia enggan membuat konten komprehensif karena takut stigma sosial. Akibatnya, masyarakat Indonesia lebih banyak mengonsumsi konten edukatif dari expert luar negeri.

Undervaluation Professional Services: Ekspektasi bahwa semua hal berkualitas harus gratis menciptakan devaluasi terhadap jasa profesional dan menghambat pertumbuhan service-based economy.

Stunted Digital Economy Growth: Creator economy Indonesia tertinggal dibanding negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia yang lebih terbuka terhadap monetisasi digital content.

Data dan Tren Positif

Namun, ada sinyal perubahan positif. Berdasarkan data dari berbagai riset:

  • 96% pengguna Indonesia menggunakan e-wallet sebagai metode pembayaran digital, dengan jumlah pengguna digital payment diproyeksikan mencapai 204,97 juta pada 2028
  • Market e-learning Indonesia diproyeksikan tumbuh 2,87% per tahun (2024-2029) dengan nilai pasar mencapai US$1,593 juta pada 2029
  • Pengguna music streaming di Indonesia mencapai 30,8 juta pada 2027, dengan layanan seperti Netflix dan Spotify semakin diterima meskipun menghadapi kenaikan pajak 12% pada 2025

Yang lebih menarik, terdapat perbedaan generational yang signifikan:

Generasi Z dan Milenial menunjukkan karakteristik yang berbeda dari generasi sebelumnya:

  • Lebih mau untuk membayar konten yang berkualitas
  • Memahami value proposition dari premium services
  • Terbiasa dengan subscription economy model

Peluang di Balik Tantangan

Paradoksnya, resistensi budaya ini justru menciptakan opportunity yang unik. Karena banyak expert Indonesia masih “takut komersial,” terbuka blue ocean untuk mereka yang berani menjadi first mover.

Window of Opportunity

Kondisi saat ini menciptakan:

  • Supply terbatas: Sedikit premium content creator berkualitas dari Indonesia
  • Demand meningkat: Generasi baru mulai menghargai paid content
  • Competition rendah: Kesempatan untuk establish market leadership

Proyeksi ke Depan

Data demografis menunjukkan tren positif untuk ekonomi digital Indonesia:

  • Middle class diprediksi naik dari 70 juta menjadi 140 juta pada 2035
  • Generasi yang tumbuh dengan Netflix dan Spotify akan normalize paying for digital value
  • Remote work culture yang permanen meningkatkan demand untuk upskilling

Refleksi untuk Kemajuan Bersama

Mindset anti-komersial Indonesia bukanlah tentang kecerdasan atau keterbukaan terhadap perubahan. Ini lebih kepada konteks historis dan budaya yang perlu dipahami dengan empati.

Namun, untuk berkembang di era digital, diperlukan evolusi pemikiran:

  • Expertise adalah aset valuable yang layak dimonetisasi
  • Membayar untuk knowledge adalah investasi, bukan pemborosan
  • Orang sukses yang terus menciptakan value adalah positif untuk ekonomi

Perubahan ini tidak perlu revolusioner. Cukup gradual, dengan konsisten memberikan value yang exceptional sehingga masyarakat mulai memahami worth dari premium content dan services.

Masa depan ekonomi digital Indonesia bergantung pada kemampuan kita untuk menghargai knowledge sebagai komoditas berharga, bukan sesuatu yang harus selalu gratis.


Artikel ini merupakan refleksi personal penulis terhadap fenomena sosial yang diamati dalam ekosistem digital Indonesia. Pandangan yang dikemukakan tidak mewakili institusi atau organisasi tertentu. Mau belajar tentang freelancing? Cek link ini!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *